The Hardest Thing To Do Is Being Next To Someone You Know You Can't Have - Vigos

Jumat, 10 Mei 2013

 PENYEBAB TINGGINYA ANGKA PENGANGGURAN DI INDONESIA



Ø  Abstrak
Sistem pendidikan suatu Negara dapat memperngaruhi pendapatan perkapita penduduknya dan mengurangi tingkat pengangguran yang sangat tinggi ini dengan mengoptimalkan prestasi belajar peserta didik. Hal ini dapat diakui dunia dengan melihat sudut pandang sistem pendidikan terbaik di dunia yang diraih oleh Negara Finlandia. Perbincangan sistem pendidikan Finlandia yang menduduki peringkat pertama di dunia masih hangat untuk dibahas dan dapat dijadikan komparasi dengan sistem pendidikan Indonesia. Namun artikel ini hanya membahas ruang lingkup kegagalan sistem pendidikan Indonesia yang perlu diperbahurui sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran tiap tahun.

Setiap tahun, dunia pendidikan di Indonesia menghasilkan
ulusan, mulai dari jenjang SD sampai perguruan tinggi.
Tingginya jumlah lulusan yang dihasilkan dunia pendidikan,
dapat menimbulkan peningkatan jumlah pengangguran. Tercatat
jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2011 lebih dari 8
juta orang (Pusdatinaker, 2011) dengan tingkat pendidikan yang
berbeda-beda.

Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan adalah teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. Kemudian latar belakang penulis membuat laporan ini adalah untuk mengetahui masalah sistem pendidikan di Indonesia yang berkaitan dengan pengangguran.   Dan berdasarkan latar belakang tersebut,  maka penulis mengambil judul : “ KUALITAS YANG KURANG ATAU KUANTITAS YANG KURANG? “

Ø  Pendahuluan
Tenaga kerja dan tingginya tingkat pengangguran di Indonesia memang selalu menjadi polemik yang tidak pernah ada habisnya. Selain karena sumber daya manusia yang kurang berkualitas, kurangnya jumlah lapangan pekerjaan padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja, sehingga mendorong tingginya tingkat pengangguran di Indonesia.

Di Negara kita banyak yang memiliki gelar sarjana namun tidak memiliki pekerjaan. Mulai dari sarjana ekonomi, sarjana hukum, sarjana computer, dan masih banyak sarjana-sarjana yang lainnya. Kebanyakan dari mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tingginya itu menjadi seorang pengangguran. Namun, banyak pula yang tetap berusaha untuk mencari pekerjaan.

Ada tiga factor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia.
Ketiga factor tersebut adalah ketidaksesuaian hasil yang dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan permintaan dan penawaran terhadap jasa manusia, dan yang terakhir kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

Dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Oleh karena itu Negara diharapkan bisa membuat sumber daya manusia yang berkompetensi unggul karena tenaga kerja harus disiapkan dengan baik.



Ø  Landasan Teori
Dari grafik sekarang , terlihat bahwa pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan dari SD dan SMA. Namun, jika dilihat dari persentase pengangguran, maka pengangguran dari diploma I/II/III dan universitas cukup tinggi. dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi pun (Universitas), ternyata masih banyak lulusan yang menganggur. Padahal, dari tabel 1 dapat dilihat jumlah TKA yang bekerja di Indonesia dengan level pendidikan yang setingkat dan gaji yang lebih besar cukup tinggi. Permasalahan ketenagakerjaan Indonesia diperparah dengan kondisi lapangan kerjayang pertumbuhannya cukup rendah di Indonesia. Pemberlakuan Asean FreeTrade Agreement(AFTA) sejak tahun 2003menimbulkan bebasnya barang-barang antarnegara di ASEAN dengan bea pajak yang rendah.
Hal ini semakin buruk ketika China-Asean Free Trade Agreement(CAFTA) yang berlaku sejak Januari 2010. Produk-produk dari China harganya lebih murah dan banyak konsumen Indonesia memilih produk China. Ketika produk China ini semakin banyak dibeli, pendapatan industri lokal yang memproduksi produk yang sama akan menurun. Jika pendapatan terus menurun, maka akan banyak industri lokal yang gulung tikar. Gulung tikarnya industri lokal akan menurunkan jumlah lapangan kerja dan akan meningkatkan pengangguran terbuka.Selain itu, adanya globalisasi juga memberikan pengaruh negatif kepada kondisi tenaga kerja Indonesia.
Pengaruh globalisasi ini sangatlah besar, mulai dari pengaruh di bidang politik, keamanan, ekonomi, sampai bidang sosial. Dalam penelitian ini, yang akan dijadikan sorotan adalah pengaruh globalisasi di bidang sosial yang berhubungan dengan dunia industri. Dimana pengaruhnya adalah banyaknya pekerja asing yang berdatangan ke negara lain untuk mencari pekerjaan di negara tersebut. Indonesia juga mengalami hal ini dan tercatatbanyak sekali tenaga kerja asing (ekspatriat) yang bekerja di Indonesia.
Dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat bahwa jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia per 31 Mei berjumlah 45.981 jiwa. Jumlah TKA tertinggi menurut propinsi berada di Propinsi DKI Jakarta, sejumlah 28.663 jiwa .TKA dengan jumlah tertinggi berasal dari RRC sejumlah 8.620 jiwa dan diikuti TKA Jepang sejumlah 5.295 jiwa (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2010). Survey yang dilakukan Bank Indonesia terhadap TKA menunjukkan lbahwa banyak TKA tersebut yang mendapat gaji dan fasilitas lebih baik daripada tenaga kerja lokal (Yudanto, 2009).
Dari hasil survey terhadap 365 orang TKA, didapatkan hasil bahwa persentase TKA yang mendapat gaji lebih dari Rp. 25 juta sampai Rp. 50 juta dengan pendidikan setingkat SMA adalah sebesar 20% dari responden lulusan SMA, tingkat pendidikan setingkat S1 sebesar 15% dari responden lulusan S1, serta TKA dengan tingkat pendidikan setingkat S2 dan S3 sebesar 20% dari responden lulusan S2 dan S3. Dari sisi industri, terdapat permasalahan berupa pemenuhan kebutuhan tenaga kerja. tenaga kerja atau karyawan merupakan hal vital bagi industri.
Jika industri kekurangan tenaga kerja, maka dampaknya akan sangat besar. Permasalahan yang biasanya terjadi adalah, kebutuhan tenaga kerja tidak terpenuhi dalam. Seperti diketahui, biaya untuk merekrut tenaga kerja baru cukup tinggi (Willette, 2010). Biaya dalam hal ini bisa juga diartikan dalam kerugian yang akan dialami industri. Biaya tersebut, antara lain :
·Beban kerja. Ketika ada karyawan yang mengundurkan diri, maka akan ada pekerjaan karyawan tersebut yang ditinggalkan dan harus ditangani oleh karyawan yang lain. Karyawan yang mendapatkan pekerjaan tambahan pastinya akan menuntut tambahan insentif. Insentif bisa berupa insentif lembur atau insentif tambahan pekerjaan. Hal ini membut perusahaan harus meneluarkan 2 kali gaji dan hal tersebut cukup merugikan.
·Tidak efisien waktu. Untuk melakukan seleksi karyawan baru, dibutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini akan membuat tidak efisien terhadap waktu. Waktu tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk sesuatu yang lebih produktif.
·Biaya iklan lowongan. Untuk mengiklankan informasi lowongan pekerjaan, dapat dilakukan melalui internet, pamflet, email, radio, televisi, koran, atau media lainnya.Untuk melakukannya, membutuhkan biaya yang cukup tinggi dan hal tersebut membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya yang tinggi.
·Hilangnya produktivitas. Jika ada karyawan yang mengundurkan diri, meninggalkan pekerjaan yang belum terselesaikan. Hal ini dapat mengurangi produktivitas kerja individu dan perusahaan.
·Biaya pewawancara pelamar. Untuk melakukan wawancara, perusahaan harus membayar pewawancara. Biaya untuk membayar pewawancara tidak murah. Jika perusahaan melakukan ini berkali-kali, maka biayanya akan semakin tinggi.
·Biaya gaji dan pelatihan karyawan baru. Tidak semua karyawan baru yang diterima perusahaan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan perusahaan. Karyawan yang tidak kompeten harus diberikan pelatihan ulang. Biaya untuk pelatihan ulang sudah cukup tinggi, dan ditambah ketika pelatihan perusahaan harus membayar mereka.

Isu pelatihan ulang juga juga menjadi isu di dunia ketenagakerjaan Indonesia. Dari pihak industri merasa tenaga kerja baru yang diterima banyak yang tidak kompeten dan harus menjalani pelatihan ulang (retraining) (Abdurrahman, 2006). Retrainingdalam hal ini adalah bentuk pelatihan yang dikhususkan untuk karyawan yang baru direkrut, dan bertujuan untuk meningkatkan komptensi mereka, sehingga dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Retraining dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan, karena untuk melaksanakannya perusahaan harus mengeuarkan biaya . Menurut BPS Jatim, selama tahun 2007 industri di Jawa Timur mengeluarkan biaya tenaga kerja sebesar Rp. 12,450 Triliun (BPS Jatim, Pengeluaran Industri di Jatim Tahun 2007, 2010). Angka ini bisa saja bertambah jika lebih banyak retrainingyang dilakukan perusahaan. selain itu, retrainingdapat menyebabkan penurunan produktivitas tenaga kerja. Retrainingmau tidak mau harus dilaksanakan pada jam kerja. Jika waktu kerja karyawan yang bersangkutan digunakan untuk retraining, maka produktivitasnya akan berkurang.
Hal ini dapat merugikan perusahaan. Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa permasalahan tenaga kerja berasal dari 2 sisi, yakni sisi pasokan yang menghasilkan lulusan sebagai pasokan tenaga kerja, serta sisi permintaan yang membutuhkan tenaga kerja. Sisi pasokan diwakili oleh lembaga pendidikan.Sedangkan sisi permintaan diwakili oleh dunia usaha dan dunia industri. Untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan di Indonesia, tahap awal yang harus dilakukan adalah mengetahui kinerja dari tiap sisi.
Performansi tiap sisi diperlihatkan dalam bentuk yang terkuantifikasi. Kuantifikasi memberikan beberapa kelebihan, antara lain dapat dibandingkan nilai menurut waktu, dapat secara langsung dilihat nilai pencapaian tiap sisi, serta dapat dibandingkan nilai performansi untuk variabel yang berbeda. Pengukuran performansi sisi pasokan menggunakan toolyang dinamakan Alignment Indexatau AI (Koirunnisa, 2010). Tujuan dari AI adalah menghitung jumlah lulusan lembaga pendidikan yang terserap dunia kerja dan pekerjaan yang didapatkan sesuai dengan kompetensi yang didapatkan dari sekolah atau kulliahnya. AI tidak bisa menghitung demand atau kebutuhan tenaga kerja yang diminta oleh industri.
Karena, yang dijadikan dasar perhitungan bagi AI adalah jumlah lulusan yang terserap dunia kerja dibandingkan dengan jumlah lulusan. Pengukuran dari sisi permintaan yang saat ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah dengan menggunakan indeks tenaga kerja. Dasar perhitungan metode ini adalah membagi penduduk yang bekerja dengan jumlah total angkatan kerja. Metode perhitungan ini dinilai masih memiliki beberapa kekurangan. Pertama, tidak bisa memperlihatkan kebutuhan dari sisi permintaan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa dasar perhitungan dari indeks tenaga kerja adalah membagi penduduk yang bekerja dengan total penduduk usia




Ø  Pembahasan

Pengertian sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan, baik formal maupun non formal memegang peranan penting dalam upaya pemberatasan buta dengan memajukan taraf berpikir dan kebudayaan rakyat, dan negara bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan sebagai hak dasar bagi seluruh rakyatnya. Hal ini telah tertuang jelas dan tegas dalam pasal 13 Konvenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya, demikian pula dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 49 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Menurut Dirjen Pendidikan Non Formal Dan Informal Depdiknas, Hammid Muhammad, ada beberapa faktor penyebab tingginya buta aksara di Indonesia, antara lain tingginya angka putus sekolah dasar, beratnya geografis Indonesia, munculnya buta aksara baru, dan kembalinya seseorang menjadi buta aksara. Jika kita mengacu pada soal-soal diatas, sebagian besar penyebab tingginya angka buta aksara di Indonesia, adalah terkait dengan persoalan ketersediaan akses pendidikan bagi rakyat. Akan tetapi, pemerintah mengklaim bahwa terkait dengan ketersedian akses pendidikan bagi rakyat, telah dijawab pemerintah melalui berbagai program, seperti wajib belajar 9 tahun, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, sampai penganggaran 20% APBN dan APBD untuk pendidikan. Akan tetapi, mengapa angka buta aksara di Indonesia masih saja tinggi?

Soalnya terletak pada masalah prespektif pemerintah yang keliru dalam menyediakan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Terkait dengan realisasi anggaran 20% APBN dan APBD, dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), menyatakan bahwa besarnya dana pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, adalah diluar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan. Sementara itu, dari total APBN 2009 yang akan dialokasikan untuk pendidikan, untuk Departemen Pendidikan Nasional Rp. 52,0 trilliun, Rp. 46,1 trilliun untuk meningkatkan penghasilan guru dan peneliti, serta untuk Departemen Agama sebesar Rp. 20,7 trilliun. Sehingga, berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, anggaran pendidikan untuk tahun 2009 sesungguhnya hanya mencapai 4,63% dari total rencana anggaran belanja negara. Itu sebabnya mengapa sekalipun presentase anggaran pendidikan dalam APBN 2009 telah mencapai 20%, belum dapat menjawab persoalan penyediaan akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat.

Terkait dengan penyediaan akses pendidikan bagi seluruh rakyat, ada 2 konsep, yang pertama adalah pemilahan kontribusi rakyat terhadap negara, dan yang kedua adalah pemilahan terhadap penerimaan hak. Perbedaan kedua konsep ini terletak pada prespektif tentang pendidikan sebagai hak rakyat, apakah seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan atau tidak.

Pemilahan kontribusi rakyat terhadap negara didasarkan pada kesanggupan rakyat dalam menjalankan kewajibannya terhadap negara. Konsep ini yang sering diwacanakan sebagai “pajak progressif”. Artinya bahwa, kewajiban rakyat yang mampu haruslah lebih besar dibandingkan dengan rakyat yang tidak mampu. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu melakukan pemilahan atas hak dasar rakyat, pendidikan menjadi hak dari seluruh rakyat tanpa dibedakan kaya atau miskin.

Sementara pemilahan terhadap penerimaan hak didasarkan pada status sosial seseorang secara ekonomi, terkait dengan masalah pendidikan, pendidikan gratis hanya menjadi hak bagi rakyat yang miskin, sedangkan bagi rakyat yang dinilai mampu (kaya), tetap dikenakan biaya pendidikan yang tinggi. Konsep inilah yang digunakan oleh pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, dalam menyediakan akses pendidikan bagi rakyatnya. Penyediaan akses pendidikan bagi rakyat miskin dijawab dengan subsidi silang atau dengan bantuan berupa beasiswa.


Dengan demikian, secara umum, biaya pendidikan tetap mengalami peningkatan. Masalahnya adalah berapa jumlah rakyat yang mampu dalam menanggung biaya pendidikan bagi rakyat miskin, sementara jumlah rakyat miskin terus saja bertambah, apalagi akibat krisis finansial yang sedang melanda dunia internasional saat ini yang berdampak pada melambung tingginya harga-harga kebutuhan pokok, PHK massal yang menambah jumlah pengangguran yang tentunya semakin meningkatkan jumlah rakyat miskin.

Konsep yang dijalankan oleh pemerintah ini, kerap melahirkan masalah yang justeru semakin mempersempit ketersediaan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Salah satunya adalah pendataan jumlah masyarakat miskin yang masih sangat jauh dari kenyataan, akibatnya banyak rakyat miskin yang justeru tidak mendapatkan haknya untuk mengakses pendidikan. Ini sama halnya ketika pemerintah menjalankan program BLT setelah menaikan harga BBM, kenyataannya banyak rakyat yang seharusnya berhak, justeru tidak mendapatkan dana BLT hanya karena persoalan pendataan. Selain itu, konsep ini juga membuka ruang bagi terjadinya korupsi di dunia pendidikan yang terus meningkat. Artinya, persoalan korupsi di dunia pendidikan, bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, melainkan sebagai akibat yang lahir dari sistem pendidikan yang keliru.

UU BHP ; Upaya Pemerintah Untuk Melepaskan Tanggung Jawab Terhadap Pendidikan.
Selain itu, pemerintah memang tidak pernah serius dalam memenuhi hak dasar rakyat terhadap pendidikan. Justeru sebaliknya, pemerintah terus saja berupaya melepaskan tanggungjawab terhadap sektor pendidikan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya. Salah satunya adalah dengan disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

Secara yuridis, ketentuan tentang BHP diatur dalam pasal 53 UU Sisdiknas. Akan tetapi, tentu bukan hanya ketentuan tersebut yang menjadi latar belakang dilahirkannya UU BHP tersebut. Kelahiran UU BHP tidak terlepas dari kepentingan negeri-negeri imperialis untuk mengkomersialkan pendidikan di Indonesia, menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan yang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi imperialisme. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kesepakatan internasional antara pemerintah Indonesia dengan lembaga-lemabaga dan negara-negara donor yang mempengaruhi kelahiran berbagai kebijakan sektor pendidikan di Indonesia.

Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran utang sebesar US$ 400 juta dari IMF (Dana Moneter Internasional), yang kemudian melahirkan penandatangan kesepakatan Letter of Intent/LoI. Dalam kesepakatan tersebut, pemerintah Indonesia diharuskan untuk melakukan pencabutan subsidi publik, termasuk pendidikan dan kesehatan. Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya PP 61 Tahun 1999 Tentang BHMN  Perguruan Tinggi (menjadikan perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara) yang kemudian diuji cobakan di 8 universitas negeri besar di Indonesia yaitu UI, ITB, IPB, UPI, USU, ITS, UNAIR dan UNDIP.

Tahun 2001 Pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), di mana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang sebesar US$ 114,54 juta untuk membiayai program Indonesian Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati pada Juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah rancangan UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.

Orientasi Pendidikan Yang Tidak Mengabdi Kepada Kepentingan Rakyat.
Selain persoalan ketersediaan akses pendidikan bagi rakyat, soal kebudayaan--orientasi pendidikan yang tidak mengabdi pada kepentingan rakyat, juga menjadi persoalan pokok masih tingginya angka buta aksara di Indonesia.

Jika kita menganalisis dari prespektif hubungan produksi, kepentingan negara-negara PBB dalam mengatasi masalah buta aksara di dunia, tidak terlepas dari kepentingan negara-negara kapitalis monopoli atas ketersediaan tenaga produktif bagi industri-industri yang didirikannya. Artinya bahwa, jika negara-negara kapitalis monopoli menginginkan industrinya bisa berjalan dan mampu menghasilkan keuntungan yang sangat besar, maka mereka harus mempekerjakan buruh yang terdidik, bisa membaca dan menulis sehingga mampu mengoperasikan mesin-mesin canggih dalam menggerakkan industri mereka.

Itu sebabnya mengapa dahulu ketika Belanda menjajah Indonesia, setelah seratusan tahun Belanda menjajah, baru menjalankan “politik etis” di Indonesia yang salah satunya adalah program edukasi/pendidikan. Hal ini bukan karena keinginan Belanda untuk membalas budi orang Indonesia, melainkan karena kebutuhan Belanda terhadap pekerja terdidik yang akan menjalankan industri-industri yang didirikannya. Dari situlah kemudian rakyat Indonesia diijinkan untuk bersekolah.

Berbeda dengan negara-negara kapitalis dan kapitalis monopoli, akses pendidikan rakyat dan kualitas pendidikannya sangat diperhatikan karena terkait dengan perkembangan industri yang sudah maju, menggunakan teknologi yang canggih, sehingga membutuhkan pekerja dengan kualitas yang maju pula, sekalipun penghisapan terhadap buruh masih saja terjadi. Sementara Indonesia yang corak produksinya masih setengah kolonial dan setengah feodal, dimana alat produksi pertanian yang sangat sederhana masih mendominasi, pabrik-pabrik yang hanya berorientasi menghasilkan barang-barang mentah dalam menyediakan kebutuhan bahan baku bagi industri negara-negara kapitalis monopoli, dan penggunaan mesin-mesin canggih yang terbatas pada industri perakitan, memposisikan pendidikan Indonesia sangatlah tidak diperhatikan.

Dengan demikian, sistem pendidikan di Indonesia hanya di orientasikan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara kapitalisme monopoli akan ketersediaan buruh murah. Keuntungan industri milik negara-negara kapitalisme monopoli yang ada di Indonesia, tidak didapatkan dari mengoperasikan mesin-mesin canggih yang mampu meningkatkan kapasitas produksi, melainkan dengan cara memperhebat penindasan terhadap buruh melalui penambahan jam kerja dengan upah yang tetap saja minim, sehingga mampu terus meningkatkan kapasitas produksi, sementara biaya produksi yang dikeluarkan bisa seminim mungkin.

Itu sebabnya, pemerintah semakin gencar mempropagandakan tentang sekolah-sekolah kejuruan (SMK) untuk memenuhi kebutuhan tenga kerja siap pakai bagi industri milik negeri-negeri kapitalis monopoli. Sementara capaian tertinggi dari SMK tersebut hanya sebatas mampu merakit, disatu sisi melalui berbagai kebijakan Hak Kekayaan Intelektual (Hak Paten, Lisensi, Merek Dagang, dan sebagainya), negeri-negeri kapitalisme monopoli tidak akan membiarkan industri nasional berkembang dan mampu menghasilkan kebutuhan dalam negeri sehingga mampu melepaskan ketergantungan terhadap komoditas dari industri-industri milik negeri-negeri kapitalis monopoli, dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dengan demikian, kualitas sistem pendidikan kita hanya diukur secara formal dengan ijazah, tetapi tidak mampu menjawab soal-soal rakyat, termasuk membebaskan rakyat dari buta aksara. Bisa buktikan secara sederhana, dari kita yang berkuliah, ternyata masih ada masyarakat di sekitar lingkungan kita, keluarga, bahkan bapak dan ibu kita yang masih buta aksara. Demikian halnya dengan kampus yang seharusnya menjadi lembaga yang ilmiah, tidak pernah menunjukkan perannya dalam menjawab persoalan rakyat. Justeru sebaliknya, kampus hadir sebagai corong propagandanya musuh-musuh rakyat, tempat dilahirkan dan dikembangkannya teori-teori yang membela kepentingan imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat.

Disinilah peran kita sebagai organisasi massa pemuda-mahasiswa demokratik nasional, harus tampil mempropagandakan secara luas tentang sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat. Kampus harus kita jadikan sebagai benteng pertahanan rakyat, tempat untuk mengkaji dan memperdebatkan, serta mencarikan solusi atas persoalan-persoalan rakyat.


Ø  Kesimpulan

A. Kesimpulan

Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia.

Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional. Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya.

Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.

Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal.

Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. 

Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Kita. Diharapkan ke depannya di Negara Indonesia kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.

B. SOLUSI MASALAH PENGANGGURAN DI NEGARA INDONESIA

Masalah penganggur terbuka (open unemployed) dan  setengah penggangur (underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke depan.  penganggur terbuka yang di alami masyarakat Indonesia sekarang ini sudah mencapai sekitar dua kali dari penduduk Malaysia. Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya. Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih baik dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.

Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun muara. Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.

1. Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional. Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.

2. Segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial).

3. Segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin
kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga itu dapat disusun dengan baik.

Sistem pendidikan nasional adalah suatu kesatuan yang kompleks dan terorganisir demi mencapai tujuan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Visi makro pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat madani sebagai bangsa dan masyarakat Indonesia baru dengan tatanan kehidupan yang sesuai dengan amanat proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui proses pendidikan. Masyarakat Indonesia baru tersebut sikap dan wawasan keimanan dan ahlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjujung tinggi hak asasi manusia, serta berpengertian dan berwawasan global. Visi mikro pendidikan nasional adalah terwujudnya individu manusia baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan ahlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjujung hak asasi manusia, saling pengertian dan berwawasan global.

Misi makro pendidikan nasional jangka panjang adalah menuju masyarakat madani. Dalam bidang pendidkan penyelengaraan organisasi pelaksanaan pendidikan yang otonom, luas namun adatif dan fleksibel, bersifat terbuka dan berorientasi pada keperluan dan kepentingan bangsa. Perimbangan wewenang dan pertisipasi masyarakat telah berkembang secara alamiah. Pendidikan telah menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang berwawasan global, memiliki komitmen nasional dan bertindak secara lokal kepada keunggulan, serta menjadikan lembaga pendidikan sebagai pusat peradapan. Misi makro pendidikan nasional jangka menengah adalah pemberdayaan organisasi maupun proses pendidikan. Organisasi pelaksana pendidikan dengan cakupan yang luas dan otonom, sehingga mampu menampung kebutuhan masyarakat dalam berbagai situasi. Proses pendidikan dilaksanakan secara terbuka untuk memperbesar masukan dari masyarakat. Pelaksanaan pendidikan telah dilaksanakan melalui jenjang kewenangan yang teah terbagi dengan partisipasi masyarakat yang besar. Pendidikan diselengarakan dengan penanaman rasa keunggulan untuk menghadapi tantangan global. Mengusahakan lembaga pendidikan menjadi pusat peradapan.


C. Kritik dan saran

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Ibarat ”tak ada gading yang tak retak”, tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan makalah selanjutnya.

Ø  Daftar Pustaka

1 komentar: